Selasa, 17 Mei 2011

Undang undang antimonopoli dan pengaruhnya terhadap bisnis usaha kecil dan menengah

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sistem ekonomi pasar bebas, pasar bebas dianggap sebagai sistem yang lebih baik dan lebih akomodatif terhadap etika bisnis. Kegiatan bisnis lebih bisa diharapkan berjalan secara baik dan fair.
Kebijaksanaan pemerintah yang lebih akomodatif dan kondusif bagi kegiatan bisnis yang baik dan etis; pada tempat pertama ada baiknya kita tinjau secara sekilas mengenai monopoli, oligopoli, dan suap serta masalah etis yang ditimbulkannya. Setelah melihat monopoli dan oligopoli serta masalah-masalah etis yang berkaitan dengan itu, kita akan mengusulkan perlunya undang-undang anti-monopoli dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertujuan untuk menciptakan iklim bisnis yang lebih baik dan etis dan sejalan dengan semangat pasar bebas
Tujuan UU Antimonopoli

Sebelum lebih jauh mengkaji UU Antimonopoli ini, perlu diketahui terlebih dahulu tujuan UU Antimonopoli. Adapun tujuan UU Antimonopoli sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 3 adalah untuk:
1.         Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2.       Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
3.       Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
4.       Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dari keempat tujuan tersebut, Martinus Udin Silalahi dalam tulisannnya yang dimuat dalam situs Koran Harian Sore Sinar Harapan tanggal 9 Maret 2005 merumuskan menjadi dua tujuan pokok, yaitu tujuan ekonomi dan tujuan sosial.

Menurut Martinus, maksud tujuan ekonomi adalah terselenggaranya persaingan usaha yang sehat, kondusif dan efektif yang mengakibatkan efisiensi ekonomi. Sedangkan tujuan sosial adalah melalui persaingan usaha yang sehat tersebut kesejahteraan masyarakat akan ditingkatkan (the maximization of consumer welfare), yaitu masyarakat akan mempunyai pilihan untuk membeli suatu barang atau jasa dengan harga yang lebih murah. Jadi, kedua tujuan tersebut menjadi dasar parameter untuk menilai, apakah dampak UU Antimonopoli tersebut terhadap pelaku usaha, terhadap masyarakat (konsumen), dan terhadap Pemerintah sendiri.

Dampak UU Antimonopoli Bagi Pelaku Usaha

Dampak UU Antimonopoli tersebut bagi pelaku usaha adalah yang pertama, pelaku usaha tidak boleh menjalankan usaha dengan cara tidak fair atau menjalankan usaha merugikan pesaingnya baik secara langsung maupun tidak langsung; yang kedua pelaku usaha harus sungguh-sungguh bersaing dengan kompetitornya supaya tetap dapat eksis di pasar yang bersangkutan, baik dari aspek kualitas, harga maupun pelayanannya. Karena suatu pelaku usaha tidak tahu persis apa yang dilakukan oleh kompetitornya untuk tetap eksis, maka setiap pelaku usaha akan melakukan perbaikan peningkatan terhadap produknya (inovasi) untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik, harga yang lebih murah dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk menarik hati konsumen. Apakah ini sudah dijalankan oleh pelaku usaha di Indonesia? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli sepuluh tahun yang lalu, pelaku usaha umumnya sudah memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli.

Paling tidak mengetahui bahwa ada UU Antimonopoli yang memberi kebebasan kepada pelaku usaha untuk menjalankan usahanya, tetapi kebebasan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli tersebut.

 Misalnya, adanya larangan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (Pasal 17), dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha (Pasal 25 ayat 2 huruf b). Namun, batasan ini tidak berlaku mutlak.

Artinya tidak setiap pelaku usaha melebihi pangsa pasar tersebut langsung dilarang, melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah dengan melebihi penguasaan pangsa pasar yang ditetapkan tersebut mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Kalau ya, maka larangan tersebut dikenakan kepada pelaku usaha yang bersangkutan, kalau tidak, maka pelaku usaha tersebut tidak dikenakan larangan tersebut.

Dengan demikian UU Antimonopoli tidak anti perusahaan besar. Justru UU Antimonopoli mendorong perusahaan menjadi perusahaan besar asalkan atas kemampuannya sendiri, bukan karena melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat.

Permasalahan Pelaksanaan UU Antimonopoli

Pengalaman Negara Indonesia dalam menerapkan UU Antimonopoli belumlah banyak sehingga masih banyak ditemukan kekurangan di sana sini. Seperti yang disinyalir oleh Afifah Kusumadara, SH. LL.M. SJD dalam sebuah artikelnya menyatakan, sejauh ini KPPU belum pernah memberi keputusan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan usaha yang dikecualikan dari ketentuan UU No. 5/1999, padahal terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51).

Lebih jauh Afifah mengatakan, sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.

Salah satu kegiatan/perjanjian usaha yang tidak dikategorikan melanggar UU No. 5/1999 adalah “perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri” (pasal 50 huruf g UU No. 5/1999). Ketentuan ini sangat sumir, terlalu singkat, yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.

Selain itu, KPPU sebagai lembaga yang diberi wewenang menjalankan UU Antimonopoli ini juga masih minim pengalaman dalam menerjemahkan amanah yang dimuat dalam UU Antimonopoli sehingga setiap keputusan yang dikeluarkan KPPU masih rentan bantahan dari pihak yang digugat.

Masih banyak yang harus dipahami oleh KPPU dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawal UU Antimonopoli baik dari segi pemahaman prosedur pengelolaan perusahaan, persaingan usaha, perjanjian-perjanjian dan tindakan-tindakan ekonomi dari pengusaha yang kental dengan konsep capital untung dan rugi serta pemahaman terhadap kepentingan Negara yang lebih umum.

Penutup

Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh UU Antimonopoli dan KPPU saat ini, UU Antimonopoli telah menjadi ikon penting dalam penataan ekonomi persaingan usaha yang sehat dan telah menimbulkan harapan baru bagi semua pihak terutama perusahaan-perusahan kecil menengah yang selama ini tidak berdaya bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dan bermodal kuat. UU Antimonopoli juga memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Indonesia sebagai konsumen produk-produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan terutama menurunnya harga produk secara drastis dan dapat dijangkau oleh masyarakat. Kondisi ini jauh berbeda sebelum diberlakukannya UU Antimonopoli dimana masyarakat tidak dapat menjangkau harga-harga produk yang relative mahal disbanding dengan tingkat pendapatan rakyat Indonesia yang masih rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar